Selasa, 03 Juni 2008

kompor alkohol

Kompor alkohol generik
Kompor alkohol generik.

Jangan dikira bahwa kami ingin menyaingi program pemerintah Jawa Barat yang ingin menggalakkan penggunaan batu bara seperti dicanangkan kemarin ini oleh bapak Gubernur. Walaupun dalam hati kecil, kami sebenarnya kurang tertarik dengan rencana pemerintah menggunakan batu bara sebagai pengganti bahan bakar minyak di rumah tangga karena berbagai alasan, baik teknis maupun kesehatan.

Cerita bermula pada saat melakukan pencarian desain burner untuk biogas, kami cukup surprise karena ternyata inisiatif pembuatan dan desain kompor atau tungku dengan bahan bakar alternatif sudah banyak sekali dilakukan baik oleh para hobiis maupun LSM di luar negeri.

Salah satu yang menarik perhatian adalah desain kompor berbahan bakar alkohol yang dibuat dari kaleng bekas minuman ringan (soft drink). Di sekitar kita banyak sekali limbah bekas kaleng minuman ringan ini , yang sebetulnya masih bisa kita manfaatkan untuk sesuatu yang cukup berguna (well, saingan dengan para pemulung, menurut informasi harga kaleng bekas ini di tingkat pemulung ternyata sekitar Rp. 10.000,- / kilogram!)

Kami melihat bahwa desain kompor alkohol ini (jenisnya disebut Top Burner Alcohol Stove) sama dengan yang digunakan kompor yang sering dipakai oleh para pencinta alam dan pendaki gunung, Trangia. Keduanya mengambil prinsip dasar yang sama, hanya bedanya Trangia menggunakan bantuan semacam sumbu yang kemungkinan terbuat dari asbestos.

Membuatnya sama sekali tidak sulit, hanya dibutuhkan sedikit kesabaran dan bahan serta alat yang tersedia di sekitar kita. Dan soal fungsional, dari percobaan kami dapat mendidihkan (98C) 0.5 liter air dalam waktu 18 menit dan hanya menghabiskan sekitar 20ml spirtus bakar. Kurang lebih sama bahkan cenderung lebih irit dalam bahan bakar daripada Trangia. Selain itu, kompor alkohol ini juga simple dan ringkas, dapat dikantongi bila anda sedang melakukan perjalanan alam bebas, alkohol nya selain berfungsi sebagai bahan bakar, dapat juga digunakan untuk antiseptic dan pencuci luka apabila mengalami kecelakaan ringan dalam perjalanan.

Keunggulan lain, bahan bakar alkohol ini bersih, tidak mengeluarkan bau dan polusi serta termasuk bahan bakar yang renewable (terbarui). Kekurangannya ? tentu saja ada :), storage dan handling dari bahan bakar cair yang kadang kadang ribet dan harga alkohol yang masih mahal (sekitar Rp. 6000 - 7000 / liter).

Mengacuhkan hal tersebut, mengapa kita tidak mulai saja mencoba membuat kompor alkohol generik ini ? Gampang kok!.

Catatan:
Kami juga sedang iseng membuat varian lain, yaitu side burner pressurized alcohol stove, yang dari sisi desain juga menarik dan teoritis akan lebih irit lagi bahan bakarnya dan beberapa modifikasi lain

MEMBUAT KOMPOR ALKOHOL GENERIK (Generic Alcohol Stove)
Article by: Anto, Manglayang Farm

Alat dan bahan
Gambar 1: Alat dan bahan

Bahan & Alat :

  • 2 buah kaleng minuman ringan bekas yang masih utuh, ukuran + 330 ml, bersihkan dengan air, lap hingga kering
  • Paku pin
  • Marking pen / Spidol OHP (anti air)
  • Cutter
  • Penggaris
  • Gunting

Bahan bakar:

  • Alkohol 70% atau Alkohol 95% atau Methylated blue (spirtus)

Note: Walaupun diameter dinding kaleng minuman ringan umumnya sama, tapi diameter tonjolan lingkaran alasnya seringkali berbeda. Diketahui ada 2 jenis diameter, keduanya dapat dipergunakan, tapi pilih jenis diameter yang sama untuk kedua bahan kaleng.
Note: Pembuatan yang digambarkan disini menggunakan kaleng dengan diameter tonjolan 48mm, yang lebih banyak ditemukan sampahnya. (Pocari Sweat, Coca-Cola, Fanta, Greensand, dll.)

  1. Buang pin pembuka yang ada di bagian atas kaleng agar kaleng dapat berdiri tegak saat dibalikkan.Balikkan kaleng.
  2. Pada bagian bawah kaleng beri tanda dengan marking pen sebanyak 24 titik yang melingkar di luar tonjolan lingkaran alas, dengan jarak yang sama antara titik

Menandai kaleng burner
Gambar 2: Menandai kaleng burner

  1. Lubangi alas kaleng pada titik yang telah dibuat dengan menggunakan paku pin. Prosesnya dapat ditekan dengan tangan atau dipukul ringan dengan palu. (kami memukul paku pin dengan menggunakan gagang cutter)

Melubangi burner
Gambar 3: Melubangi burner

  1. Dengan menggunakan cutter, buang bagian “mangkok” alas kaleng. Caranya dengan menggerat mengikuti jalur dinding dalam tonjolan perlahan-lahan. Jangan sampai dinding dalam tonjolan ikut terpotong.

Note : Bagian pengerjaan ini cukup lama karena mangkok alas agak tebal dibandingkan bagian dinding. Tapi dengan kesabaran, setelah belasan kali mengitari geratan, mangkok akan terbuka dengan mudah hanya dengan tekanan jari, dan hasilnya jauh lebih rapi daripada dipaksa dengan cutter. Hasil yang tidak rapi dapat menyebabkan kebocoran pada saat kompor dinyalakan.

Memotong kaleng burner
Gambar 4: Memotong kaleng burner

Membuka mangkok burner
Gambar 5: Membuka mangkok burner

  1. Pada tempat yang datar, berdirikan lagi kaleng dengan bagian bawah ada dibawah. Ukur sepanjang + 27 mm dari bawah kaleng. Beri tanda dengan menggunakan marker pen.

Mengukur dimensi kaleng sekitar 25 - 30 mm
Gambar 6: Mengukur dimensi kaleng sekitar 25 - 30 mm

  1. Ganjal marker pen dengan menggunakan gunting (atau apa saja), hingga ujungnya berada setinggi tanda hasil pengukuran. Tahan dengan tangan sedemikian agar tak bergerak. Putarkan kaleng perlahan hingga seluruh dinding kaleng tertandai secara sama rata pada ketinggian yang diukur.

Menandai kaleng dengan marking pen
Gambar 7: Menandai kaleng dengan marking pen

  1. Gerat (iris) hasil garisan tanda tadi dengan cutter secara perlahan hingga seluruh dinding kaleng terkitari. Ulangi lagi – dengan sabar – hingga beberapa kali tapi jangan ditekan keras. Setelah ada sedikit bagian yang terbuka, hentikan. Lanjutkan cukup dengan tekanan jari. Bagian ini dinamai ‘Burner’.

Note : Cara ini menghasilkan hasil potong yang rapi. Bukan berarti tidak bisa dengan cara cepat (langsung ditembus cutter), tapi pemotongan langsung akan membuat hasil potong keriput atau penyok, bahkan bisa mengakibatkan gagal potong.

Mengiris kaleng dengan cutter
Gambar 8a: Mengiris kaleng dengan cutter

Mengiris kaleng dengan cutter
Gambar 8b: Mengiris kaleng dengan cutter

Menekan kaleng untuk membuka irisan
Gambar 8c: Menekan kaleng untuk membuka irisan

  1. Ambil kaleng kedua. Seperti pada langkah no.5 & no.6, tandai kaleng dengan marking pen. Kali ini 3 cm (30mm) dari bagian bawah kaleng.
  2. Gerat (iris) hasil garisan seperti pada langkah no.7. Setelah 2 atau 3 putaran, dapat dipotong langsung dengan cutter, asal hati-hati jangan memotong keluar dari yang sudah ditandai. Tekuk tekuk sekeliling dinding hasil potongan ini secara merata dengan menggunakan ibu jari ke arah dalam. Tekukan ini dimaksudkan agar pada saat di dimasukkan ke bagian atas, lebih mudah. Jangan terlalu dalam karena akan menutupi lubang keluar gas. Bagian ini dinamai ‘Fuel Cup

Note : Langkah ini tidak perlu bila menggunakan sistem Slit* Note : Maaf fotonya gak fokus.

Fuel cup
Gambar 9: Fuel cup

  1. Dari sisa kaleng pertama (karena sisa potongannya lebih rapi), buat tanda seperti pada langkah no.5 dan no.6. Kali ini setinggi 3,5cm (35mm). Gunting kaleng secara vertikal, lalu membelok mengikuti tanda yang telah dibuat. Setelah selesai, ukur dan potong seperti tampak pada gambar. Perhatikan 3 lubang yang harus dibuat. Bagian ini dinamai ‘Inner Wall’. Lingkarkan dan sambungkan Inner Wall pada bagian Slit* (ingat, ini untuk diameter tonjolan 48mm)

Dimensi inner wallGambar 10a: Dimensi inner wall

Memotong sisa kaleng untuk dijadikan inner wall
Gambar 10b: Memotong sisa kaleng untuk dijadikan inner wall

Mengukur & membuat inner wall
Gambar 10c: Mengukur & membuat inner wall

Inner wall
Gambar 10d: Inner wall

  1. Susun Burner, Inner Wall, dan Fuel Cup. Masukkan Inner Wall pada cerukan tonjolan dalam Burner. Lalu pasangkan Fuel Cup dalam Burner. Rapatkan hingga Inner Wall masuk pada cerukan tonjolan Fuel Cup. Kompor selesai.

Bagian kompor telah siap disusun
Gambar 11a: Bagian kompor telah siap disusun

Susunan kompor
Gambar 11b: Susunan kompor

Kompor alkohol generik telah selesai dibuat
Gambar 11c: Kompor alkohol generik telah selesai dibuat

  1. Masukkan Alkohol (semurni mungkin) atau spirtus ke lubang besar tengah kompor. Nyalakan dengan menggunakan korek. Di tempat yang terang, api pembakaran alkohol atau spirtus tidak terlihat, tapi sebenarnya menyala. Selalu rasakan hangatnya dengan tangan terlebih dahulu untuk memeriksa api

Note : Hati-hati terbakar! Gas Alkohol atau Spiritus mudah menguap, terbakar dan apinya menyambar. Gunakan korek api kayu agar lebih aman.

Menyalakan kompor alkohol buatan sendiri
Gambar 11c: Menyalakan kompor alkohol buatan sendiri

biogas

PEMANFAATAN ENERGI BIOGAS UNTUK MENDUKUNG AGRIBISNIS DI PEDESAAN

Teguh Wikan Widodo, Ana N., A.Asari dan Astu Unadi

Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong

ABSTRAK

Biogas adalah salah satu sumber energi terbarukan yang bisa menjawab kebutuhan akan energi sekaligus dapat menyediakan kebutuhan hara tanah dalam suatu sistem pertanian yang berkelanjutan. Pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas mendukung penerapan konsep zero waste sehingga pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dicapai. Teknologi biogas sangat berpotensi untuk dikembangkan di daerah - daerah pengembangan peternakan yang terintegrasi dengan tanaman (CLS). Langkah awal dari kegiatan tersebut, BBP Mekanisasi Pertanian pada tahun 2005 menjalin kemitraan dengan Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah Ciampea Bogor untuk mengembangkan digester skala kecil. Digester didesain dengan kapasitas 18 m³ untuk menampung kotoran sapi sebanyak 10–12 ekor. Berdasarkan perhitungan disain, digester tersebut mampu mengahasilkan biogas sebanyak 6 m³/hari. Produksi gas metana tergantung pada C/N rasio input (kotoran ternak), residence time, pH, suhu dan toxicity. Suhu digester berkisar 25–27°C dan pH 7–7,8 menghasilkan biogas dengan kandungan gas metana (CH4) sekitar 77%. Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai sumber energi kompor gas dan lampu penerangan. Analisa dampak lingkungan dari lumpur keluaran dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD=0,5. Analisa unsur utama N, P dan K menunjukkan tidak ada perbedaan nyata bila dibandingkan dengan pupuk kompos (referensi). Pendapatan yang diperoleh dari instalasi biogas adalah sekitar Rp 600 000,-/ bulan. Analisa kelayakan ekonomi menunjukkan investasi layak dengan B/C Rasio 1,35 dan modal investasi kembali pada tahun ke-4 (umur ekonomi digester 20 tahun). Hasil pendapatan ini belum termasuk hasil samping berupa pupuk cair/padat. Berdasarkan kajian teknis dan ekonomis tersebut, teknologi biogas ini layak dikembangkan. Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil pertanian diharapkan dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses dengan menggunakan green energy.

Kata kunci: energi biogas, konsep zero waste, pertanian berkelanjutan, ramah lingkungan, agribisnis.

PENDAHULUAN

Sumber daya energi mempunyai peran yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional. Energi diperlukan untuk pertumbuhan kegiatan industri, jasa, perhubungan dan rumah tangga. Dalam jangka panjang, peran energi akan lebih berkembang khususnya guna mendukung pertumbuhan sektor industri dan kegiatan lain yang terkait. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak dan gas, namun berkurangnya cadangan minyak, penghapusan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan kualitas lingkungan menurun akibat penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Olah karena itu, pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan menjadi pilihan.

Salah satu dari energi terbarukan adalah biogas, biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya. Energi biogas dapat diperoleh dari air limbah rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, sapi, babi; sampah organik dari pasar; industri makanan dan sebagainya. Kapasitas terpasang pemanfaatan biogas adalah kurang dari satu persen dari potensi biogas yang ada (685 MW). Dari ternak ruminansia besar saja (sapi perah, sapi potong dan kerbau) dengan populasi 13 680 000 ekor (pada tahun 2004) dan struktur populasi (anak, muda, dewasa) kotoran segar rata-rata 12 kg/ekor/hari, dapat menghasilkan kotoran segar 164 160 000 ton per hari atau setara dengan 8,2 juta liter minyak tanah/ hari [12]. Sejalan dengan pengembangan daerah-daerah sentra peternakan di pedesaan, bahan input produksi biogas menjadi tersentralisir dan ketersediannya terjamin secara kontinyu.

Selain potensi yang besar, pemanfaatan energi biogas dengan digester biogas memiliki banyak keuntungan, yaitu mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap, mencegah penyebaran penyakit, menghasilkan panas dan daya (mekanis/listrik) serta hasil samping berupa pupuk padat dan cair. Pemanfaatan limbah dengan cara seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga bahan bakar minyak dan pupuk anorganik. Disamping itu, prinsip zero waste merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan [2;8]. Makalah ini memberikan gambaran pemanfaatan teknologi biogas dalam mendukung agribisnis di pedesaan.

Pengembangan Teknologi Biogas

Dalam kegiatan DIPA 2005 BBP Mekanisasi Pertanian, telah dilaksanakan kegiatan rekayasa dan pengembangan unit instalasi pemroses biomasa (kotoran sapi) menjadi energi biogas yang berlokasi di Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor. Instalasi pemroses biomasa (digester) adalah tipe fixed dome yang dirancang untuk 10 ekor sapi (dengan kotoran sapi 20 kg/hari/ekor dengan retention time 45 hari) maka kapasitas digester adalah 18 m³. Skema pemanfaatan energi biogas dari kotoran sapi adalah seperti pada Gambar 1.

Produksi gas metana tergantung pada kondisi input (kotoran ternak), residence time, pH, suhu dan toxicity. Suhu digester berkisar 25-27°C menghasilkan biogas dengan kandungan gas metana (CH4) sekitar 77%. Berdasarkan perhitungan produksi biogas yaitu 6 m³/hari (untuk rata-rata produksi biogas 30 liter gas/kg kotoran sapi), sedangkan hasil pengukuran tanpa beban menunjukkan laju aliran gas 1,5 m³/jam dengan tekanan 490 mmH2O (lebih besar daripada perkiraan). Penggunaan lampu penerangan diperlukan biogas 0.23 m³/jam dengan tekanan 45 mmH2O dan untuk kompor gas diperlukan biogas 0.30 m³/jam dengan tekanan 75 mmH2O (Tabel 1)[13].

Tabel 1. Unjuk Kerja Instalasi Biogas

Pemanfaatan Biogas

Referensi

Hasil pengukuran

- Lampu penerangan (m3/ jam)

- Kompor gas (m3/ jam)

0,11 – 0,15

(penerangan setara dengan 60 watt lampu bohlam @100 candle power @ 620 lumen). Tekanan: 70 - 85 mmH2O

0,2 – 0,45

0,3 m3/ orang/ hari

Tekanan: 75 - 90 mmH2O

0,15 – 0,3

Tekanan = 30 – 60 mmH2O

0,2 – 0,4

Tekanan = 60 – 85 mmH2O

Sumber: [1;2;3;6;8]

Analisa dampak lingkungan dari lumpur keluaran dari digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair BOD/COD=0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%). Berdasarkan hasil penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri pathogen sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar [13].




Pendapatan yang diperoleh dari instalasi biogas adalah sekitar Rp 600 000,-/ bulan bila dikonversikan dengan harga dan nilai kalori LPG (Liquefied Petroleum Gas). Dengan menggunakan parameter dan analisa kelayakan ekonomi seperti pada Tabel 2 diperoleh B/C Rasio 1,35 yang berarti secara ekonomi investasi tersebut layak. Demikian pula dari hasil analisa simple payback diketahui bahwa modal investasi pembangunan konstruksi digester akan kembali pada tahun ke-4 (umur ekonomi digester: 20 tahun). Hasil pendapatan ini belum termasuk hasil samping berupa pupuk cair/padat [13].

Gambar 1. Pemanfaatan energi biogas dari kotoran sapi

Pada kegiatan DIPA 2006 (sedang berjalan), pemanfaatan biogas yang dihasilkan direncanakan untuk beberapa kegunaan seperti untuk kemasan tabung dan sumber energi motor penggerak (daya listrik/ mekanis).

Tabel 2. Parameter dan Hasil Analisa Kelayakan Ekonomi

1. Parameter

- Biaya investasi, Rp

- Biaya operasional dan perawatan, Rp/tahun

- Pendapatan, Rp/tahun

- Keuntungan, Rp/tahun

- Umur ekonomi, tahun

- Produksi gas, m3/hari

- Produksi gas, m3/tahun

- Suku Bunga , %/tahun

2. Hasil Analisa Kelayakan Ekonomi

- Net Present Worth (NPW), Rp

- Net Present Cost (NPC), Rp

- Net Present Revenue (NPR), Rp

- B/C Ratio

- Simple Payback, tahun

- Internal Rate Return (IRR), %

18 448 000

2 767 200

7 051 800

4 284 600

20

6

2190

12

13 555 578

39 117 444

52 673 023

1,35

4,3

23,70

Sistem Integrasi Ternak dan Tanaman

Usaha peternakan sapi telah banyak berkembang di Indonesia, namun petani pada umumnya masih memelihara ternak sebagai usaha sambilan atau tabungan, sehingga manajemen pemeliharaannya masih dilakukan secara konvensional. Permasalahan utama yang dihadapi petani yaitu belum adanya keterpaduan usaha ternak dengan tanaman. Sehingga jumlah pakan secara memadai terutama pada musim kemarau tidak tersedia. Konsekuensinya banyak petani yang terpaksa menjual ternaknya walaupun dengan harga relatif murah [7].

Upaya mengatasi permasalahan tersebut, petani di beberapa lokasi di Indonesia sejak dulu telah mengembangkan sistem integrasi tanaman ternak (Crops Livestock System, CLS). CLS pada umumnya telah berkembang di daerah dimana terdapat perbedaan nyata antara musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) dengan bulan kering lebih dari 3 bulan berturut-turut [5].

Pengembangan kawasan sistem peternakan pertanian terintegrasi merupakan suatu model yang integratif dan sinergis atau keterkaitan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Petani memanfaatkaan kotoran ternak sebagai bahan biogas, sisa hasil proses biogas yang berupa padatan dan cairan bisa digunakan sebagai pupuk organik untuk tanamannya, kemudian memanfaaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak. Kadar unsur hara dalam pupuk kandang yang berasal dari beberapa jenis ternak adalah seperti pada Tabel 3. Apabila diketahui produksi pupuk kandang per ekor ternak sapi/kerbau sekitar 26 kg/ hari/ekor dan kambing/domba sekitar 1,5 kg/hari/ekor, maka jumlah zat hara yang dihasilkan per tahun dapat diperhitungkan.

Tabel 3. Kadar N, P dan K dalam Pupuk Kandang dari Beberapa Jenis Ternak

Jenis Pupuk Kandang

Kandungan (%)

N

P2O5

K2O

Kotoran Sapi

Kotoran Kuda

Kotoran Kambing

Kotoran Ayam

Kotoran Itik

0.6

0.4

0.5

1.6

1.0

0.3

0.3

0.3

0.5

1.4

0.1

0.3

0.2

0.2

0.6

Sumber: [9].

Pada model integrasi tanaman ternak, petani mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dengan memanfaatkan limbah tanaman seperti jerami padi, jerami jagung, limbah kacang-kacang, dan limbah pertanian lainnya. Terutama pada musim kering, limbah ini bisa menyediakan pakan berkisar 33,3 persen dari total rumput yang dibutuhkan [7]. Kelebihan dari adanya pemanfaatan limbah adalah disamping mampu meningkatan ketahanan pakan khususnya pada musim kering, juga mampu menghemat tenaga kerja dalam kegiatan mencari rumput, sehingga memberi peluang bagi petani untuk meningkatkan jumlah skala pemeliharaan ternak atau bekerja di sektor non pertanian. Beberapa potensi pakan ternak dari limbah pertanian seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Potensi Limbah Pertanian Untuk Pakan Ternak

Komoditas

Potensi

1. Jagung

- Bobot daun dibawah tongkol

- Bobot brangkasan diatas tongkol

- Tongkol (ratio to product ratio/RPR=0,273)

2. Padi

3. Kelapa Sawit (bahan kering dari daun tanpa lidi, pelepah, solid, bungkil, serat perasan dan tandan kosong)

2,2 – 2,6 ton/ha

1,3 – 2,0 ton/ha

1,6 ton/ha

3,78 – 5,1 ton/ha

10,011 ton/ha/tahun

Catatan: konsumsi pakan setiap 1 unit ternak (UT) adalah 35% bobot hidup.

Sumber: [4;11]




Sistem integrasi ternak-tanaman (crop livestock system/CLS) yang diusahakan secara intensif merupakan salah satu contoh populer Sistim Usahatani Intensifikasi Diversivikasi (SUID) [10]. Strategi diversifikasi usaha dalam spektrum luas dapat bermanfaat untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya maupun untuk mengurangi resiko usaha. Hal ini sangat penting mengingat usaha dibidang pertanian memerlukan jangka waktu tertentu untuk memperoleh hasil dan tingkat resiko yang tinggi. Oleh karena itu, dalam tataran usahatani keluarga skala kecil, maka usahatani yang akan dikembangkan adalah pola usaha SUID-keluarga, seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Dasar Usaha SUID-Keluarga

Pemanfaatan Energi Biogas untuk Mendukung Agribisnis di Pedesaan

Dengan integrasi ternak-tanaman, pakan ternak cukup tersedia sehingga waktu yang dicurahkan untuk kegiatan penyediaan pakan ternak menjadi berkurang. Kelebihan waktu tersebut dapat dimanfaatkan untuk menambah jumlah ternak maupun bekerja di sektor non pertanian agar pendapatan keluarga bertambah. Dengan pola usaha SUID-keluarga, pemanfaatan energi biogas dari kotoran ternak dapat mendukung agribisnis di pedesaan. Sebagai contoh pada Gambar 3, integrasi ternak sapi dan tanaman jagung dapat menciptakan berbagai aktivitas baru yang dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk.




Gambar 3. Contoh pemanfaatan energi biogas untuk mendukung agribisnis berbasis jagung.

Prospektif Pemanfaatan Energi Biogas

Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan. Beberapa alasannya adalah: pertama, produksi biogas dari kotoran peternakan sapi ditunjang oleh kondisi yang kondusif perkembangan peternakan sapi di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi di bidang energi seperti kenaikan tarif listrik, kenaikan harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ketiga, kenaikan harga dan kelangkaan pupuk anorganik di pasaran karena distribusi pemasaran yang kurang baik menyebabkan petani berpaling pada penggunaan pupuk organik.

Pemanfaatan untuk kompor, penerangan, pemanas air dan penggunaan lainnya yang mendukung kegiatan industri kecil di pedesaan. Sedangkan lumpur keluaran dari digester dapat dimanfaatkan untuk pupuk atau dialirkan ke kolam ikan. Pengembangan lebih lanjut dari kegiatan riset ini adalah meliputi pengemasan biogas dalam tabung dan sebagai sumber energi pada motor bakar untuk mengasilkan sumber daya mekanis maupun listrik.

Perkiraan Dampak

Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik dari pasar; industri makanan dan sebagainya. Disamping itu, usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air, dsb. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.

Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produk-produk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy.

PENUTUP

Energi biogas dapat dimanfaatkan secara optimal dengan cara teringrasi dan penggunaan pada kegiatan-kegiatan yang produktif. Sehingga pemanfaatan energi biogas dapat memberikan dampak yang lebih luas dan dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi serta nilai tambah pada produk. Dengan demikian, melalui kegiatan agribisnis ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan menggairahkan perekonomian di pedesaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anon1. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources Development Series No. 21. United Nations: Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand.

Anon2. 1984. Updated Guidebook on Biogas Development - Energy Resources Development Series 1984, No. 27, United Nations, New York, USA.

Anon3. 1997. Biogas Utilization. GTZ. http://ww5.gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat.html.

Anon4. 2003. Perkebunan Kelapa Sawit dapat Menjadi Basis Pengembangan Sapi potong. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Vol. 25 No5.

Fagi, A.M., I.G. Ismail dan Kartaatmaja, S. 2004. Evaluasi Pendahuluan Kelembagaan Sistem Usahatani Tanaman-Ternak di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prosiding Lokakarya Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic Digestion: Principles and Practices for Biogas System. The World bank Washington, D.C., USA.

Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 3 No.1, Maret 2005 :68 – 80.

Marchaim, U. 1992. Biogas Processes for Sustainable Development. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Viale delle Terme di Caracalla, 00100 Rome, Italy.

Saleh, E. 1997. Pengembangan Ternak Ruminansia Besar di Daerah Transmigrasi. Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Simatupang, P. 2004. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.

Sudradjat, R. 2004. The Potential of Biomass Energy resources in Indonesia for the Possible Development of Clean Technology Process (CTP). International Workshop on Biomass & Clean Fossil Fuel Power Plant Technology: Sustainable Energy Development & CDM. Jakarta, January 13-14, 2004.

Syamsuddin, T.R. dan Iskandar,H.H. 2005. Bahan Bakar Alternatif Asal Ternak. Sinar Tani, Edisi 21-27 Desember 2005. No. 3129 Tahun XXXVI.

Widodo, T.W, Asari, A., Nurhasanah,A. and Rahmarestia,E. 2006. Biogas Technology Development for Small Scale Cattle Farm Level in Indonesia. International Seminar on Development in Biofuel Production and Biomass Technology. Jakarta, February 21-22, 2006 (Non-Presentation Paper).

Sabtu, 31 Mei 2008

biofuel

Journey to Forever's forced-air biofuel heater

Yesterday was the first real day of spring, it was 20 deg C (68 deg F), sunny, insects flying everywhere and fruit trees blossoming... And I finally figured out how to keep our house warm in the winter. LOL! Well, we get there in the end.

With similar wonderful timing, last year at just this time I finished building our first Mother Earth News heater, the original design:

It worked really well with kerosene and with biodiesel, but it wouldn't burn the biodiesel glycerine by-product, which we'd hoped it would do, but it quickly coked up. It did burn WVO (waste vegetable oil, used cooking oil), producing plenty of heat, but again it coked up quite quickly. Feasible, but too much cleaning involved.

So I turned to Bruce Woodford's adaptation, which uses a forced air supply via a squirrel cage fan and a different burner design. Bruce says it reaches about 600-700 deg C (1,100-1,300 deg F) at the stovetop, a lot hotter than the original design, and it's obviously much hotter than that in the burner itself. (See
Bruce Woodford's forced-air waste oil heater and Plan)

It's great for waste motor oil -- Bruce and his friends were unconcerned by the warnings last year from Richard Freudenberger, the original designer, that additives had raised the burning temperature of motor oil since the heater was designed and as a result it was no longer suitable for burning used motor oil. (See
Note.)

But I had doubts it would burn the glycerine by-product, or at least give a clean and continuous burn without getting gunged up with a refractory soap residue. The elusive goal. Prof. Michael Allen told me he thought it needed a burning temperature in excess of 1,000 deg C (1,800 deg F) "and you will probably need a mean residence time in the Hot Box of about 5 seconds". And perhaps pre-heating and atomisation as well. See
Burning glycerine

I followed Bruce's instructions carefully, but the new burner (right) didn't even like biodiesel, and it just went out when I tried WVO, let alone the glycerine by-product, though it worked well with kerosene. I decided that, no matter how well it might work with fossil fuels, the burner was all wrong for biofuels -- biofuels have much higher flash-points. I substituted the double frying-pan burner from the original design, fashioned a conical hood for the 2" forced-air supply pipe to fit over it, and tried again.

This worked very well with biodiesel, but much less well with WVO, so I didn't even try glycerin by-product. I made a 50-50 blend of WVO and biodiesel, and that worked just fine. I was testing it in the open backyard between the kitchen and the shed (workshop), it had been snowing and it was very cold, but it warmed the whole yard up, I had to take my coat off.

But, while we always have more WVO than we can use, plenty for winter heating fuel, I don't want to be making high-quality biodiesel all winter just for heating. The cost works out at not that much less than kerosene, which is about half the price of petroleum diesel fuel in Japan, and with time and labour added it's not worth it.

The main biodiesel cost component is the methanol. We get a good deal on it but it's still not cheap, and we can't get it any cheaper because there are restrictions here on how much you can store onsite. With 20% methanol needed to make the biodiesel, a 50-50 mix of WVO and biodiesel uses 10% methanol, too much. So I made some "biodiesel" with 5% methanol, using the single-stage base process and the titration amount of lye but with only 5% methanol. The glycerine by-product separated as it should, but not as much as usual and it was sludgier than the usual by-product.

But the fuel worked -- definitely not something you want to put in your car, but it burned very well in the new burner. I burned it for a few hours, with an amazing amount of heat output: it was outside and there was a frost, but the lower half of the heater was red-hot. And there was no ash or sludge buildup in the burner.

Maybe I can get that 5% even lower, down to 4% methanol or maybe less, but this is feasible as winter heating fuel. The fuel is just for heating, not driving, so there's no need to wash it. Quick and easy. We have enough excess methanol to recover from stored by-product to make about 600 litres of this bioheating oil, lots of winter heat essentially for nothing. See
Bioheating oil

We've been using a small woodstove in the kitchen, which works well, it made all the difference in the cold months (and we have plenty of wood here), and we'd planned to put the WVO burner in the kitchen too, but it burns much too hot to have it inside the house. We'll have it outside instead, mounted inside a 200-litre oildrum, with a second fan blowing air into the oildrum and outlet pipes leading into the house under the floors and into the rooms. That will keep the whole house warm.

    Keith Addison
    Journey to Forever
    8 Apr 2005






















Left: Yet another 90-litre tank from a junked kerosene water heater. Above: Cut out the door (big enough for the burner unit to fit through). Above right: Use the cut-out as the door. Cut a steel backing from another tank, the opening 3/8" less all round than the door space. Right: Cut a hole in the door for the viewing window.








Above: Drilling the holes to bolt the backing plate in place inside the door.













Cut a shutter for the viewing window, 3/8" bigger all round than the window. Drill holes for hinge bolts, then countersink the holes on the inside (above left), so that the bolt is flush-fitting (above right and far right). Bolt the hinge on (left). Cut another strip of steel to fit under the other side of the hinge, and countersink these holes too. Bolt the hinge on, bolt the whole assembly to the door over the window.



















Cut another piece of steel for the other side of the shutter and bolt it to the door with clips to hold the shutter closed. Bolt two hinges to the door the same way. Bolt the backplate to the tank, with more clips to hold the door closed, and bolt on the door hinges. Detail below left. (We fitted more clips above and below the door later.)








Maybe we could have used an ordinary plumbing tee-junction for the air-supply pipe (see Plan), but we used 2-inch car exhaust pipe instead of water-pipe, it didn't come with threads and we don't have a die for threads that size, so we did it another way. Above, above right and right is the drilled-out bolt we made to hold the fuel line in place in the top of the air-supply pipe, with a threaded hole cut in the side of the bolt head for the holding bolt. The nut, left, has to be rounded off to fit snugly inside the 2" pipe.

























Make a template (left) for a right-angle cut in the pipe -- it will have to be a bit less than 90 degrees to allow for overlap. Right and far right, fitting the template -- note the overlap at the top, to leave you a bit of the pipe to bend.

















































Drill a hole for the fuel-line fitting, far left. Screw in the fitting, left, and fit the rounded nut inside the pipe, right.






















































































Above: File the V's deeper. On the left side, bend the edge of the pipe out, on the right, bend in at first and then out. Trim off any excess. Above right and far right: Carefully bend the pipe into a right-angle, tucking one side inside the other -- if you've done it right, they'll clip together firmly (left).

Top right: Cut off the tank fittings for the lid and the filler gauge; cover with flat metal plates screwed into place. Right: Cut the hole for the 2-inch air-sipply pipe in the centre of the tank; leave tabs and bend them up to secure the pipe in position. Cut a hole in the side of the tank for the flue.






































Above: The stovetop, with the flue, air-supply pipe and fuel line in place. Right: The blower fan, salvaged from a dead water-heater.












Above: Fit the pipe to the tank and clamp it in place round the upaised tabs with a stainless steel hose-clamp. Left: The flue is fitted the same way, along with some screws. Seal with refractory cement.







































The burner

For use with biodiesel or bioheating oil, the heater uses the same burner as the original Mother Earth News design. The base of the burner unit is an 8" stainless steel frying pan with the handle stub ground off and the rim cut back. It stands on two steel plates with a 4" length of 1" water pipe between them. The 3/8" round steel burner plate is just less than six inches across and is perforated with 5/16" holes. It's supported by two 3-1/4" lengths of 1" steel water pipe held by "redi-bolts". The top of the unit is an inverted 6" cast-iron skillet with the handle cut off, perforated with 5/16" holes. It's held above the burner plate by two 1" lengths of 1" steel water pipe. The whole unit bolts to the floor of the heater. The air- and fuel-supply is from above, with the air-pipe ending in a conical hood above the burner. See How to build a funnel.






















Left: The burner in action, with the hood lowered -- still hot after turning the blower off. Make the hood so that it will slide up the air-supply pipe to give access to the burner.

Using the heater

Position the fuel tank higher than the heater for gravity feeding. Open the heater door, raise the hood. Fill the lower frying pan with perlite. Add a couple of hundred millilitres of kerosene and light with a match. Close the door, open the view window, turn on the blower, open the valve on the fuel tank, adjust to when the drips start changing to a stream. Close the window.